kontra fatwa MUI Sebagai hukum Positif

berdasarkan dari segi kajian melalui Hukum Tata Negara, dengan adanya isu fatwa mui sebagai hukum positif. hal itu dapat kita kaji secara keilmuan Undang-Undangnya.
Pertama, hukum poditif Indonesia artinya adalah hukum yang berlaku saat ini. Hukum positif disini mencakup aturan peraturan perundang-undangan yang berlaku umum (regelling) ataupun keputusan yang berlaku khusus (beschikking), yang pelaksanaanya dikawal oleh aparatur negara dan dunia peradilan. Oleh karena itu,  maka tidak sembarang lembaga lembaga dapat menghasilkan hukum positif karena hal itu hanya dapat dihasilkan oleh organ negara yang memang diberikan kewenangan negara untuk itu. Hal itu bisa kita kaitkan dengan tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu hukum positif yang sekarang berlaku adalah Undang-undang nomor 12 tahun 2011. Pasal 7 Undang-undang  tersebut mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah: UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang/Perpu, peraturan pemerintah, Perpres, perda provinsi, atau kabupaten kota. Nah, diluar itu, peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah yang ditetapkan oleh organ negara (contohnya MPR hingga Bank Indonesia). UU itu juga mengakui regulasi yang diterbitkan oleh anggota kabinet seperti peraturan pemerintah. Sedangkan untuk badan, lembaga, dan komisi negara lainnya, hanya diakui berwenang membuat hukum positif jika keberadaannya "dibentuk dengan UU, atau pemerintah atas perintah UU" (Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 12/2011) atau dengan pemaknaan terbalik alias a contrario, maka badan, lembaga dan komisi negra yang tidak dibentuk UU, ataupun dibentuk pemerintah bukan atas perintah UU, jelas tidak mempuunyai kewenangan untuk menetapkan hukum positif. Oleh karena itu ada dua hal yang harus dijawab sebelum menetukan apakah fatwa mui itu merupakan hukum positif atau tidak.
 1. Pertama, bagaimanakah status kelembagaan mui itu sendiri?
 2. lalu, kedua, apakah mui adalah lembaga yang bisa menghasilkan hukum positif?

Pertanyaan yang akan sangat dijawab sendiri ialah, apakah status hukum dari MUI?

Dibentuk pada tahun 1975, dalm diri MUI ada berbagai sifat badan hukum, seperti ciri lembaga negara, ormas, bahkan ada yang berpandangan berciri lembaga swadaya masyarakat
Misalnya, Professor tim lindsey, direktur CILIS (Center for Indonesia Law, Islam and Society) pada Melbourne UniversityLaw School berpendapat bahwa MUI adalah LSM yang mempunyai bersifat organ publik negara atau Quasi-Atunomous Non-Govermental Organization (QuANGO) sifat mui sebagai lembaga negara paling kuat terasa pada kewenangannya menerbitkan sertifikasi halal, peran mana akan beralih kepada Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) sesuai UU No. 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal. Namun, ciri organ negara itu gugur salah satunya karena uang publik yang dikumpulkan tersebut tidak diizinkan diperiksa oleh komisi audit negara, utamanya BPK atau BPKP. Apapun bentuk badan hukum MUI, pertanyaan kedua lelbih mudah untuk dijawab. MUI bukanlah badan, lembaga, komisi negara yang "dibentuk dengan UU, atau pemerintah atas perintah UU" sebagaimana diatur dalam UU 12/2012
Memang MUI disebutkan dalam bebrapa pasal UU No. 33 tahun 2004 tentang jaminan produk halal, namun bukan berarti itu MUI tidak berwenang mengeluarkan produk yang bisa menjadi hukum positif ditanah air. Konsekuensinya, fatwa MUI bukanlah hukum positif di Indonesia. .Fatwa MUI hanya bisa menjadi hukum positif jika substansinya ditetapkan oleh organ negara yang berwenang untuk menjadi peraturan perundangan sebagaimana diatur jenis dan hierarki dalam UU No. 12/2011
Selama belum ditetapkan sebagai hukum positif, maka fatwa MUI adalah hukum aspiratif dalam konteks hukum nasional. Karena bukan sebagai hukum positif itu pula, maka secara teori, Fatwa MUI tidak dapat menjadi objek uji materi perundangan dihadapan meja hijau Mahkmah Agung.
Maka sifat fatwa MUI tidaklah mempunyai kekuatan hukum memaksa sebagaimana hukum positif pada umumnya. Lebih jauh, apabila dikaitkan dengan hukum pidana,, maka fatwa MUI tidak bisa menjadi instrumen hukum yang menjadi dasar dilakukannya upaya hukum memaksa (seperti sweeping) ataupun menjadi dasar dijatuhkannya sanksi pidana. Aplagi berdasarkan pasal 15 UU No. 12/2011, peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur sanksi pidana dibatasi hanya pada 2 jenis peraturan, yaitu UU dan perda.
Menurut sudikno mertokusumo, ada 3 aspek kekuatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu pertama, aspek kekuatan yuridis (yuridische geltung), kekuatan sosiologis (sosiologische geltung), kekuatan filosofi (filosofische geltung). Berdasarkan ketiga kriteria kekuatan pembentukan hukum tersebut, fatwa MUI hanya memiliki kekuatan berlaku sosiologis, yaitu khusus umat iskam yang meminta secara kolektif. Namun tidak memiliki kekuatan secara yuridis karena tidak memenuhi prosedur formal pembentukan peraturan perundang-undangan dan tidak mempunyai kekuatan keberlakuan secara filosofi karena penyusunannya didalam hukum islam (syariah), bukan pada nilai-nilai pancasila. Disamping itu juga tidak memenuhi keberlakuan yuridis karena bukan merupakan produk hukum yang tergolong norma hukum positif.
Oleh karena itu maka pointnya yaitu, bahwa fatwa MUI tidak ada landasannya untuk dijadikan hukum positif

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sistem Pembebanan Tanggung Jawab Pada Penyertaan

Pancasila

Sumber Hukum Tata Negara